Pengaruh Kekuasaan Belanda dan Ajaran Islam Terhadap Masyarakat Di Kecamatan Mantup, Lamongan
A. Letak Geografis dan Kondisi Kecamatan Mantup
Salah
satu wilayah di Kabupaten Lamongan yang memiliki sejarah terkait wilayahnya
adalah Mantup. Mantup merupakan nama kecamatan yang berada di Kabupaten
Lamongan. Wilayah Kecamatan Mantup terletak 20 km di sebelah selatan Kota
Kabupaten Lamongan. Di dalam wilayah Kecamatan Mantup, terdiri dari beberapa
desa, yaitu Desa Tugu, Desa Tunggunjagir, Desa Sumberkerep, Desa Sumberagung,
Desa Sukosari, Desa Rumpuk, Desa Sidomulyo, Desa Keduk, Desa Bembem, Desa
Pelabuhan Rejo, Desa Sumberbendo, Desa Mojosari, Desa Kedungsoko, Desa
Sukobendu, Desa Dumberdadi, dan Desa Mantup.
Walaupun Kabupaten Lamongan merupakan wilayah yang kental dengan pedesaan, namun di Kecamatan Mantup sendiri sebagian besar wilayahnya merupakan pemukiman yang lumayan luas. Wilayah di Kecamatan Mantup dan sekitarnya sebagian besar berupa kawasan hutan yang masih asri. Hanya ada beberapa wilayah lahan hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan yang diolah oleh masyarakat sekitar.
B. Monumen Bersejarah “Kuda Putih Mayangkara”
Kabupaten
Lamongan terkenal dengan julukan “Kota Santri” yang mulai eksis sejak periode
penyebaran islam di Nusantara. Namun, sebenarnya wilayah Kabupaten Lamongan
juga menjadi daerah incaran Belanda yang ikut diserbu pada saat Agresi Militer
Belanda II yang dilakukan pada tanggal 19 Desember 1948. Pada serangan Agresi
Militer Belanda II, wilayah Kabupaten Lamongan merupakan wilayah yang ikut
diserang secara mengejutkan oleh pihak Belanda.
Serangan
pertama kali ke wilayah Kabupaten Lamongan dilakukan di kota Babat oleh Pasukan
Marbrig (Mariniers Brigade atau Koninklijk Nederlandse Marine Korps) yang
datang dari tuban. Namun, serangan ternyata tidak datang dari Babat, melainkan
pasukan Brigade Marinir Belanda bergerak ke arah selatan dengan tujuan utama
yaitu Kota Kertosono dan ibu kota Lamongan dengan taktik penyerangan tidak
langsung.
Penyerangan
secara tidak langsung tersebut merambat hingga mencapai ke daerah-daerah di
sekitarnya. Pada tanggal 2 Januari 1949, giliran daerah Kedungpring mendapat
serangan. Setelah itu, lawan terus bergerak menuju ke daerah Modo, Bluluk,
Ngimbang, Sambeng, dan Mantup. Sejak saat itulah, pasukan Belanda mulai
menyerang hampir di seluruh wilayah Kecamatan Mantup. Pada masa penjajahan kolonial Belanda, wilayah Kecamatan Mantup
diperebutkan oleh Belanda.
Wilayah
yang diperebutkan itu memiliki bukit bernama Mayangkara. Saat itu, pasukan
Belanda menilai bahwa daerah ini tersebut (Kecamatan Mantup) sangat strategis. Hal
tersebut menimbulkan kontra yang terjadi diantara para penjajah dan penduduk
sekitar. Mengatasi hal tersebut, masyarakat yang ada di Kecamatan Mantup
membentuk sebuah gerakan atau pasukan berkuda yang dipimpin oleh P. Jarot. Pasukan
yang dibentuk tersebut menunggang kuda putih yang disebut dengan “Pasukan Kuda
Putih Mayangkara”. Sejak itulah, para penduduk yang ada di Kecamatan Mantup
membuat sebuah monument bersejarah sebagai tanda betapa heroiknya perjuangan
dalam mempertahankan wilayah Mantup.
Kuda putih dalam monument Mayangkara berasal dari pemberian Lurah Mantup. Beliau memberikan kda putihnya karena ia mendapat firasat berupa mimpi agar kuda beliau yang putih itu diberikan kepada Komandan dan Batalyon Mayor Djarot Subiyantoro. Setelah kuda putih diterima dan dipelihara dengan baik, ternyata kuda tersebut mempunyai Nyoni atau nama lainnya adalah keajaiban.
C. Perkembangan Ajaran Islam dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat Kecamatan Mantup
Perkembangan ajaran islam di Kabupaten Lamongan tentu tidak pernah lepas dari perjuangan para wali yang menyebarkan ajaran islam di pulau Jawa. Di Kabupaten Lamongan sendiri Sunan Drajat yang menyebarkan ajaran islam sampai di seluruh wilayah Lamongan. Sejak itulah, Kabupaten Lamongan juga terkenal dengan julukan “Kota Santri”. Banyak terdapat pondok pesantren yang tersebar dari ujung ke ujung wilayah Kabupaten Lamongan, terutama yang terdapat di pesisir pantai sebelah utara Lamongan. Bahkan, ajaran pesantren seperti itu masih berkembang sampai saat ini.
Letak wilayahnya yang strategis dan berada
dekat dengan jalur perdagangan laut, membuat Kabupaten Lamongan pada zaman dulu
menjadi persinggahan para pedagang. Hal tersebut menimbulkan adanya akulturasi
budaya yang terjadi diantara para pedagang yang singgah tersebut dengan
penduduk asli masyarakat Lamongan. Pengaruh ajaran islam tersebut mempengaruhi setiap
kegiatan ataupun aktivitas masyarakat Lamongan.
Seperti halnya dengan pembentukan nama
Kecamatan Mantup. Pada saat Belanda datang untuk menguasai seluruh wilayah
Kecamatan Mantup, saat itu nama Mantup bukanlah nama yang sebenarnya. Kata
“Mantup” ini merupakan bentukan kata yang berasal dari Bahasa arab “Amantubbillahi”
yang artinya percaya kepada Allah SWT. Itulah semboyan yang selalu diucapkan
oleh pasukan Kuda Mayangkara sekaligus menjadi asal muasal Kecamatan Mantup
yang kini menjadi daerah Mantup. Semboyan tersebut menjadi landasan dan
kekuatan para pasukan Kuda Mayangkara tersebut dalam berjuang mempertahankan
wilayah Mantup dari rebutan pasukan Belanda.
Secara keseluruhan, selama masa perjuangan
melawan Belanda, semboyan Amantubbillahi selalu menjadi semangat dalam mengusir
Belanda dari wilayah Mantup. Awalnya, para penduduk asli Kecamatan Mantup tidak
mengetahui apa arti dari kata Amantubbillahi itu sendiri. Sampai akhirnya ada
seorang ulama yang Bernama Mbah Yai Sido Margi yang datang ke wilayah Mantup
untuk mengajarkan ajaran islam kepada para penduduk di wilayah Mantup.
Mbah Yai Sido Margi ini awalnya merupakan
salah satu murid dari Sunan Giri. Beliau diutus untuk menyebarkan ajaran islam
di wilayah Mnatup tersebut. Sejak kedatangan beliau di wilayah Mantup tersebut,
beliau juga yang memperkenalkan kata Amantubbillahi kepada para masyarakat
Mantup sehingga mereka pun mengerti apa arti kata tersebut. Berkat sumbangsih
dari Mbah Yai Sido Margi pula, masyarakat yang berada di Kecamatan Mantup mulai
mengenal ajaran islam secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Husain, dkk.
Sejarah Lamongan Dari Masa Ke Masa, Airlangga University Press, Surabaya, 2017
Suara, Lamongan,
“Sejarah Mayangkara Mantup”, https://suaralamongan.wordpress.com/sejarah/sejarah-mayangkara-mantup/,
diakses pada 30 Oktober 2022
Prayoga, dkk,. Monumen
Perjuangan Jawa Timur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1986
Komentar
Posting Komentar