Ada Petistiwa Tersembunyi yang Patut Untuk Diperkenalkan
Judul
Buku :
Gerakan Usroh di Indonesia : Peristiwa Lampung 1989
Penulis : Abdul Syukur
Kota
Terbit : Yogyakarta
Penerbit :
Penerbit Ombak
Tahun
Terbit :
2003
Jumlah
Halaman : 251 halaman
Pada
awalnya, buku ini merupakan hasil penelitian penulis untuk meraih gelar Mater
Humaniora Bidang Ilmu Sejarah dari Universiras Indonesia antara tahun
1998-2001. Pada bagian awal buku ini, penulis menegaskan bahwa hasil penelitian
yang dilakukannya tersebut merupakan bantahan terhadap hipotesa sejarawan
Indonesia yang penulis kagumi, yakni Prof. Dr. Sartono Kartodirjo.
Jika
dilihat dari segi kelebihannya, buku ini memiliki beberapa keunikan.
Diantaranya yaitu apabila kita baca, ternyata jarak antara peristiwa lampung
pada tahun 1989 dengan tahun terbit buku ini tidaklah jauh. Dengan banyaknya
bukti-bukti konkrit yang beliau jadikan sebagai sumber, membuat buku ini semakin
terasa “panas” bila dibaca. Selain unik, buku ini juga sudah ditulis secara
rinci. Di bagian awal, penulis juga telah memberikan penjelasan singkat kepada
pembaca yang masih awam dengan kalimat “Gerakan Usroh”. Selain unik, buku yang
ditulis oleh Abdul Syukur ini telah ditulis dengan menggunakan kaidah penulisan
Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hanya ada beberapa typo atau salah
ketik di beberapa kata.
Secara
urutan, penulis telah berhasil menyusun buku ini secara kronologis. Jadi, bagi
pembaca yang masih sekedar ingin tahu apa itu Gerakan Usroh dan apa itu
Peristiwa Lampung 1989, mereka tidak akan bingung dengan urutan kejadian
peristiwa tersebut. Mengutip dari buku ini, sebenarnya Gerakan Usroh merupakan
sebuah metode perlawanan kelompok-kelompok muda islam terhadap kekuasaan
Pemerintah Orde Baru. Usianya hanya lima tahun,yakni tahun 1980-1986. Gerakan
Usroh terdiri dari kelompok-kelompok pengajian yang tersebar di masjid-masjid
(lingkungan tempat tinggal, sekolah, dan kampus). Diantara Gerakan Usroh itu
adalah kelompok Usroh pimpinan Abdullah Sungkar yang berpusat di Pondok
Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah. Namun, mereka telah dihancurkan oleh
Pemerintah Orde Baru pada tahun 1985-1986 karena menolak azas tunggal Pancasila
dalam UU Politik No. 3 Tahun 1985 dan UU Politik No. 8 Tahun 1985.
Dalam
penelitian yang dilakukan oleh penulis, beliau menemukan garis penghubung yang
sangat jelas aantara kelompok usroh Abdullah Sungkar dan Peristiwa Lampung 1989
atau lebih dikenal dengan sebutan kasus GPK Warsidi. Dalam penelitiannya,
penulis menemukan fakta bahwa sebagian besar anak-anak muda islam yang terlibat
dalam Peristiwa Lampung 1989 ternyata adalah mantan aktivis kelompok usroh
Abdullah Sungkar. Fakta inilah yang merupakan bantahan terhadap hipotesa
sejarawan Indonesia Prof. Dr. Sartono Kartodirjo. Namun, penulis membantah
hipotesa tersebut tentu dengan tanpa mengurangi rasa hormat dan kagum
beliau kepada Prof. Dr. Sartono
Kartodirjo.
Tidak
hanya itu, penulis juga menambahkan beberapa daftar singkatan kata-kata yang
beliau gunakan dalam proses beliau dalam menyusun buku ini. Peristiwa Lampung
1989 ini mendapat perhatian besar dari surat kabar dan majalah, diantaraya
adalah Angkatan Bersenjata, Kompas, Lampung Pos, dan lain-lain. Namun, sejak
tanggal 15 Februari 1989, seluruh surat kabar nasional hanya menggunakan
istilah GPK Warsidi sesuai dengan istilah yang digunakan Pemerintah Orde Baru.
Dalam penjelasannya, penulis juga mencantumkan dua judul buku yang memang
secara khusus membahas Peristiwa Lampung 1989 ini. Penulis menjadikan dua judul
buku tersebut sebagai tinjauan historiografis.
Dua
judul buku yang penulis jadikan sebagai tinjauan historiografis tersebut
merupakan karya P. Bambang Siswoyo dan Al-Chaidar. Penulis masing-masing
membandingkan perbedaan diantara kedua karya tersebut. Menurut penulis, karya
Siswoyo pada dasarnya merupakan kumpulan berita dari surat kabar yang disusun
tanpa memperhatikan aspek kronologis. Keterbatasan itu merupakan hal yang wajar
karena karyanya diterbitkan tiga bulan setelah peristiwa berlangsung. Berbeda
dengan karya Al-chaidar, dari segi sumber informasi, karya milik Al-chaidar lebih
baik darpada karya Siswoyo yang hanya mengandalkan surat kabar.
Dalam
penjelasan selanjutnya, penulis semakin memperjelas bahwa ada dua kelompok yang bisa disebut dengan
pecahan dari kelompok Abdullah Sungkar, yakni kelompok pengajian Warsidi dan
kelompok pengajian Nur Hidayat. Penulis mengatakan bahwa dua kelompok pengajian
tersebut adalah sebuah Gerakan Ratu Adil. Selanjutnya, penulis juga sedikit
menerangkan bahwa di era Orde Baru, kebebasan pers sangatlah dibatasi
pergerakannya. Dan dengan alasan itu pula, pada saat itu, Peristiwa Lampung
1989 masih belum begitu eksis di televisi. Hanya eksis di media cetak seperti
majalah dan surat kabar yang telah diberi izin oleh pemerintah.
Di
dalam buku ini, selain terdapat beberapa kelebihan yang sudah saya sebutkan di
atas, ada 1 kelebihan lagi yang menurut saya itu menarik. Yaitu terdapat
beberapa penjelasan mengenai singkatan-singkatan yang dipakai didalam buku ini
mulai dari awal hingga akhir. Menurut saya, hal tersebut sangat membantu.
Apalagi, apabila buku ini dibaca oleh orang yang masih awam tentang peristiwa
sejarah, maka hal tersebut tentu memiliki banyak manfaat. Bahkan, untuk dibaca
oleh para pelajar pun juga cocok. Karena penyusunan rangkaian kejadian
peristiwa Gerakan Usroh ini tidak membingungkan. Jika buku ini dibaca
keseluruhan dari awal hingga akhir, setiap peristiwa atau kejadian yang
dijelaskan selalu runtut dan tidak membuat para pembaca bingung.
Kelebihan
lainnya dari buku ini adalah informan yang menjadi narasumber dalam penyusunan
buku ini. Penulis berhasil mendapatkan narasumber yang narasumbernya merupakan
pelaku peristiwa tersebut secara langsung. Namun, tidak semua pelaku sejarah
itu beliau berhasil temui. Ada beberapa yang tidak bisa bertemu dengan beliau
karena beberapa alasan. Namun, mengambil beberapa keterangan dari narasumber
yang pernah terlibat langsung dalam Peristiwa Lampung 1989 menjadi nilai
tambahan yang dimiliki buku ini. Sebab, dari keterangan beberapa narasumber
tersebut, menandakan bahwa keaslian dan kevalidan buku ini lebih terjamin.
Supaya
pembaca lebih memahami lagi perihal informasi dari para narasumber yang penulis
temui, di pertengahan bab pada buku ini, penulis mencantumkan biodata para
narasumber tersebut. Tentunya, hal tersebut semakin membuat buku ini menarik
untuk dibaca baik itu untuk kalangan remaja dan orang-orang yang masih awam
dengan Peristiwa Lampung 1989 dan Gerakan Usroh. Buku ini juga cocok dibaca
untuk para pelajar. Karena sejak masa sekolah, peristiwa-peristiwa yang terjadi
selama era Orde Baru hanyalah terkait dengan pemusatan kekuasaan di bawah
kekuasaan Soeharto tanpa menitikberatkan pada apa dan bagaimana saja
perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada masa
Pemerintaha Orde Baru. Buku ini menjadi jendela pengetahuan baru terhadap
beberapa peristiwa yang disembunyikan secara sengaja atau tidak.
Selain
kebanyakan membahas tentang Peristiwa Lampung 1989 dan Gerakan Usroh, penulis
juga sedikit menyinggung tentang peristiwa lainnya yang berkaitan juga dengan
Gerakan Usroh. Diantaranya yaitu tentang peristiwa Talangsari Lampung 7
Februari 1989. Menjelang akhir halaman buku ini, penulis juga menambahkan tabel
yang berisi beberapa daftar orang hilang pada tragedi Talangsari Lampung 7
Februari 1989. Dengan adanya daftar tabel tersebut, semakin menambah
kelengkapan tentang apa yang dibahas oleh penulis. Selain menyinggung tentang
tragedi Talangsari Lampung 7 Februari 1989, penulis juga mengatakan bahwa Peristiwa
Lampung 1989 ini sama berdarahnya seperti perang puputan. Bahkan, dalam buku
itu penulis mengatakan bahwa puputan kerajaan-kerajaan Bali adalah yang lebih
dramatis.
Andai
saja buku ini diketahui oleh banyak pemuda maupun para pelajar saat ini,
pastilah mereka semua akan terkejut dan “kagum” terhadap apa yang pernah terjadi
pada masa Pemerintahan Orde Baru. Mereka yang mengetahui bahwa Orde Baru
hanyalah sebuah rezim yang memiliki pemerintahan terpusat dan dimotori oleh
Soeharto, pasti akan lebih tercengang lagi apabila mengetahui traged yang
terjadi dalam buku ini. Sistem pemerintahan yang pada kala itu tak hanya
memerintah, namun juga sekaligus membunuh rakyatnya sendiri. Apalagi pada zaman
itu, kebijakan yang mengatur bahwa kebebasan pers dibatasi oleh pemerintah
membuat itu semua menjadi tidak mungkin apabila mengkaji peristiwa dan latar
belakangnya kecuali melalui liputan pers dan percakapan dengan sejumlah orang
yang kebetulan mengenal orang-orang yang terlibat.
Selain
beberapa kelebihan yang telah saya sampaikan di awal, rasanya tidak lengkap
apabila sebuah kelebihan tidak menggandeng kekurangan atau kelemahan. Namun,
sampai saat ini, saya masih belum menemukan beberapa kelemahan yang ada dalam
buku ciptaan Abdul Syukur yang berjudul “Gerakan Usroh Di Indonesia : Peristiwa
Lampung 1989” ini. Ketika saya pertama kali membaca buku ini, sudah sangat
sering saya menemukan kesalahan penulisan kata yang tidak disengaja atau typo.
Selain itu, dikarenakan buku ini merupakan hasil penelitian penulis untuk
meraih gelar Master Humaniora yang beliau kejar, maka dari itu di bagian awal
buku ini terdapat tinjauan historiografis dan wawancara naratif.
Apabila
kedua bagian tersebut dibaca oleh para pelajar yang belum paham tentang dunia
perkuliahan, mereka akan bingung dengan kedua bagian tersebut (tinjauan
historiografis dan wawancara naratif). Mereka (para pelajar) mungkin akan
bertanya-tanya mengapa kedua hal itu ikut disampaikan juga di dalam buku ini. Karena
pasti yang ada di pikiran mereka adalah buku ini merupakan runtutan peristiwa
yang disusun secara kronologis peristiwanya dan akan selalu membahas tentang
kronologi peristiwa mulai dari awal hingga akhir buku ini.
Buku-buku
sejarah tentang peristiwa seperti ini haruslah terus dilestarikan. Walaupun
zaman sekarang anak-anak dan para pemuda sudah banyak yang mulai malas melestarikan
budaya literasi, bukan berarti buku seperti ini juga ikut hilang. Bahkan,
kisah-kisah sejarah seperti ini sudah jarang diceritakan oleh tenaga pendidik.
Bahkan, saya saja apabila apabila ditanya tentang Pemerintahan Orde Baru, yang
pertama terlintas di pikiran saya adalah tentang Soeharto dan kekuasaannya yang
otoriter. Saya juga baru mengetahui bahwa ada buku yang mengisahkan kisah-kisah
‘tersembunyi’ dibalik semua kisah dan peristiwa sejarah negara ini. Buku ini
cocok pula untuk dijadikan referensi dalam kegiatan belajar mengajar. Agar
semuanya tidak dengan ‘sengaja’ melupakan kisah sejarah seperti itu, alangkah
baiknya buku seperti ini tetap dijaga dan dilestarikan koleksinya. Jika bukan
kita para pemuda yang turut andil melestarikan semua asset sejarah negeri ini,
siapa lagi? Sebab kitalah para pemuda satu-satunya anak bangsa, yang tetap
terus menjadi agent of change negeri ini. Semangat untuk anak bangsa NKRI
!
Komentar
Posting Komentar